30 Des 2009

The Untold Story...

Mahesa menyempatkan diri membeli sebuah kartu natal untuk sahabat kecilnya di sela-sela jam makan siang. “Little Miss Sunshine” begitu dia menyebutnya. Waktu satu jamnya habis hanya untuk memilih satu diantara ratusan macam kartu yang tersedia. Dia memastikan sahabatnya menyukainya.Tidak perlu mahal, tidak perlu mewah. Hanya sebuah kartu natal yang tidak akan dilupakan seperti ikatan persahabatan mereka selama ini. Dalam ketergesaan, tiba-tiba matanya tertuju pada sebentuk benda mungil yang digemari matahari kecilnya. Senyumnya mengembang sembari menggenggam benda kecil itu dan membayarnya di kasir bersamaan dengan Sang kartu natal istimewa.

Jam menunjukkan pukul 16:00. Satu jam lagi perayaan malam natal dimulai, namun Mahesa belum juga menemukan selembar kertas pun untuk membungkus kado kecilnya. Dengan tergesa dia berlari ke warung terdekat, beruntung masih ada persediaan kertas kado berwarna biru kesukaan Arumi. Setengah berlari dia kembali ke rumah. Dalam 5 menit kemudian kadonya sudah terbungkus dengan tidak terlalu rapi. Selanjutnya adalah menulis ucapan. Entah apa yang harus dia sampaikan untuk gadis kecil yang selalu menyinari hatinya. Gadis kecil yang selalu dapat mengembalikan senyumnya. Mahesa merasa kartu itu terlalu kecil untuk semua hal yang harus dia sampaikan. Paling tidak memerlukan buku setebal kamus Oxford untuk mengucapkan terimakasih, maaf dan selamat natal tahun ini. Mahesa terpaku. Mengingat setiap hal yang dilaluinya bersama Arumi. Hari-hari yang menyenangkan. Selalu menyenangkan. Dia memutuskan untuk membuka komputer dan menuangkannya dalam sebuah surat.

Print…

“Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010. Sampai jumpa tahun depan matahari kecil..”

Demikian akhirnya kartu tersebut terisi tulisan. “Dia tahu aku tidak pandai berpuisi” pikirnya.

Tidak ketinggalan, dua lembar surat disertakan dalam amplop biru kartu natal.

Mahesa bergegas mandi dan berganti pakaian. Dia sudah terlambat.

Pukul 17:15 kakinya melangkah di pelataran parkir gereja. Acara hampir dimulai. Senyum menghias bibirnya ketika membayangkan teriakan Arumi melihat kado dan kartu natal berwarna biru kesukaannnya. Sukacita Natal hampir memenuhi hatinya. Dari kejauhan dia dapat melihat sahabatnya. Terusan hitam dengan aksen merah menyala membuatnya tampak lebih dewasa dalam tubuh mungilnya. Seketika Arumi menyadari kehadirannya dan sekilas melemparkan senyum. Mahesa mengambil tempat duduk dekat pintu dan mengikuti ibadah perayaan malam natal dengan khusuk.

Pemuda itu menunggu tepat di depan pintu keluar selepas doa berkat. Dia berharap dapat menemukan Arumi dalam timbunan manusia Kristen Natal. Tidak lama kemudian gadis kecilnya muncul di hadapannya. Mahesa membayangkan sebuah pelukan disertai ucapan selamat natal dari mulut gadis tersebut. Dia berencana menghabiskan malam ini ditemani celoteh riang Arumi dan perbincangan mereka yang tidak pernah mengenal tanda titik. Kado dan kartu natal tergenggam erat di tangan kirinya. Siap dimiliki.

“Hi… Arumi !” sapanya

“Mahesaaaaaa !! “pekik Arumi melihat sahabatnya.

“Eh, sori.. gw buru-buru nih. Habis ini mau jalan sama temen-temen gw. Kalo sama elo kan besok-besok masih bisa ketemu lagi. Hehehe..”

By the way.. Selamat Natal yaaaa… See ya !”

Arumi mengakhiri pembicaraan tanpa mengijinkan Mahesa membalas ucapan selamat natalnya. Gadis itu berlalu dihadapannya, tampak berlari kecil dan tergesa memasuki mobil sedan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Mahesa terpaku di lantai keramik gereja. Tangan kirinya masih mengenggam erat dua benda yang dia siapkan untuk matahari kecilnya. Hatinya membeku. Kini dia tahu dimana sekarang dia berada dalam hati Arumi. Sebuah sudut kecil yang berdebu dan bersarang laba-laba. Tidak disangka mataharinya tenggelam di malam natal. Malam yang tiba terlalu awal baginya. Musim dingin di Jakarta, dan jiwanya menjelma serpih salju.

Sepotong kartu natal dan kado kecil bisu tergeletak di samping tempat sampah. Diletakkan begitu saja tanpa pernah dimiliki.

Mahesa memasukkan barang-barang terakhirnya ke koper. Hanya ada satu alasan kenapa dia masih ada di Jakarta, dan kini alasan tersebut menguap. Tekadnya bulat, dia akan memulai tahun yang baru di tempat baru. Di ranselnya hanya ada selembar tiket: Jakarta-Amsterdam. Dia tidak akan kembali.

Tidak ada komentar: