11 Mar 2011
18 Feb 2010
30 Des 2009
The Untold Story...
Mahesa menyempatkan diri membeli sebuah kartu natal untuk sahabat kecilnya di sela-sela jam makan siang. “Little Miss Sunshine” begitu dia menyebutnya. Waktu satu jamnya habis hanya untuk memilih satu diantara ratusan macam kartu yang tersedia. Dia memastikan sahabatnya menyukainya.Tidak perlu mahal, tidak perlu mewah. Hanya sebuah kartu natal yang tidak akan dilupakan seperti ikatan persahabatan mereka selama ini. Dalam ketergesaan, tiba-tiba matanya tertuju pada sebentuk benda mungil yang digemari matahari kecilnya. Senyumnya mengembang sembari menggenggam benda kecil itu dan membayarnya di kasir bersamaan dengan Sang kartu natal istimewa.
Jam menunjukkan pukul 16:00. Satu jam lagi perayaan malam natal dimulai, namun Mahesa belum juga menemukan selembar kertas pun untuk membungkus kado kecilnya. Dengan tergesa dia berlari ke warung terdekat, beruntung masih ada persediaan kertas kado berwarna biru kesukaan Arumi. Setengah berlari dia kembali ke rumah. Dalam 5 menit kemudian kadonya sudah terbungkus dengan tidak terlalu rapi. Selanjutnya adalah menulis ucapan. Entah apa yang harus dia sampaikan untuk gadis kecil yang selalu menyinari hatinya. Gadis kecil yang selalu dapat mengembalikan senyumnya. Mahesa merasa kartu itu terlalu kecil untuk semua hal yang harus dia sampaikan. Paling tidak memerlukan buku setebal kamus
Print…
“Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010. Sampai jumpa tahun depan matahari kecil..”
Demikian akhirnya kartu tersebut terisi tulisan. “Dia tahu aku tidak pandai berpuisi” pikirnya.
Tidak ketinggalan, dua lembar
Mahesa bergegas mandi dan berganti pakaian. Dia sudah terlambat.
Pukul
Pemuda itu menunggu tepat di depan pintu keluar selepas doa berkat. Dia berharap dapat menemukan Arumi dalam timbunan manusia Kristen Natal. Tidak lama kemudian gadis kecilnya muncul di hadapannya. Mahesa membayangkan sebuah pelukan disertai ucapan selamat natal dari mulut gadis tersebut. Dia berencana menghabiskan malam ini ditemani celoteh riang Arumi dan perbincangan mereka yang tidak pernah mengenal tanda titik. Kado dan kartu natal tergenggam erat di tangan kirinya. Siap dimiliki.
“Hi… Arumi !” sapanya
“Mahesaaaaaa !! “pekik Arumi melihat sahabatnya.
“Eh, sori.. gw buru-buru nih. Habis ini mau jalan sama temen-temen gw. Kalo sama elo
“By the way.. Selamat Natal yaaaa… See ya !”
Arumi mengakhiri pembicaraan tanpa mengijinkan Mahesa membalas ucapan selamat natalnya. Gadis itu berlalu dihadapannya, tampak berlari kecil dan tergesa memasuki mobil sedan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Mahesa terpaku di lantai keramik gereja. Tangan kirinya masih mengenggam erat dua benda yang dia siapkan untuk matahari kecilnya. Hatinya membeku. Kini dia tahu dimana sekarang dia berada dalam hati Arumi. Sebuah sudut kecil yang berdebu dan bersarang laba-laba. Tidak disangka mataharinya tenggelam di malam natal. Malam yang tiba terlalu awal baginya. Musim dingin di Jakarta, dan jiwanya menjelma serpih salju.
Sepotong kartu natal dan kado kecil bisu tergeletak di samping tempat sampah. Diletakkan begitu saja tanpa pernah dimiliki.
Mahesa memasukkan barang-barang terakhirnya ke koper. Hanya ada satu alasan kenapa dia masih ada di
The Untold Story...
Mahesa menyempatkan diri membeli sebuah kartu natal untuk sahabat kecilnya di sela-sela jam makan siang. “Little Miss Sunshine” begitu dia menyebutnya. Waktu satu jamnya habis hanya untuk memilih satu diantara ratusan macam kartu yang tersedia. Dia memastikan sahabatnya menyukainya.Tidak perlu mahal, tidak perlu mewah. Hanya sebuah kartu natal yang tidak akan dilupakan seperti ikatan persahabatan mereka selama ini. Dalam ketergesaan, tiba-tiba matanya tertuju pada sebentuk benda mungil yang digemari matahari kecilnya. Senyumnya mengembang sembari menggenggam benda kecil itu dan membayarnya di kasir bersamaan dengan Sang kartu natal istimewa.
Jam menunjukkan pukul 16:00. Satu jam lagi perayaan malam natal dimulai, namun Mahesa belum juga menemukan selembar kertas pun untuk membungkus kado kecilnya. Dengan tergesa dia berlari ke warung terdekat, beruntung masih ada persediaan kertas kado berwarna biru kesukaan Arumi. Setengah berlari dia kembali ke rumah. Dalam 5 menit kemudian kadonya sudah terbungkus dengan tidak terlalu rapi. Selanjutnya adalah menulis ucapan. Entah apa yang harus dia sampaikan untuk gadis kecil yang selalu menyinari hatinya. Gadis kecil yang selalu dapat mengembalikan senyumnya. Mahesa merasa kartu itu terlalu kecil untuk semua hal yang harus dia sampaikan. Paling tidak memerlukan buku setebal kamus
Print…
“Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010. Sampai jumpa tahun depan matahari kecil..”
Demikian akhirnya kartu tersebut terisi tulisan. “Dia tahu aku tidak pandai berpuisi” pikirnya.
Tidak ketinggalan, dua lembar
Mahesa bergegas mandi dan berganti pakaian. Dia sudah terlambat.
Pukul
Pemuda itu menunggu tepat di depan pintu keluar selepas doa berkat. Dia berharap dapat menemukan Arumi dalam timbunan manusia Kristen Natal. Tidak lama kemudian gadis kecilnya muncul di hadapannya. Mahesa membayangkan sebuah pelukan disertai ucapan selamat natal dari mulut gadis tersebut. Dia berencana menghabiskan malam ini ditemani celoteh riang Arumi dan perbincangan mereka yang tidak pernah mengenal tanda titik. Kado dan kartu natal tergenggam erat di tangan kirinya. Siap dimiliki.
“Hi… Arumi !” sapanya
“Mahesaaaaaa !! “pekik Arumi melihat sahabatnya.
“Eh, sori.. gw buru-buru nih. Habis ini mau jalan sama temen-temen gw. Kalo sama elo
“By the way.. Selamat Natal yaaaa… See ya !”
Arumi mengakhiri pembicaraan tanpa mengijinkan Mahesa membalas ucapan selamat natalnya. Gadis itu berlalu dihadapannya, tampak berlari kecil dan tergesa memasuki mobil sedan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Mahesa terpaku di lantai keramik gereja. Tangan kirinya masih mengenggam erat dua benda yang dia siapkan untuk matahari kecilnya. Hatinya membeku. Kini dia tahu dimana sekarang dia berada dalam hati Arumi. Sebuah sudut kecil yang berdebu dan bersarang laba-laba. Tidak disangka mataharinya tenggelam di malam natal. Malam yang tiba terlalu awal baginya. Musim dingin di Jakarta, dan jiwanya menjelma serpih salju.
Sepotong kartu natal dan kado kecil bisu tergeletak di samping tempat sampah. Diletakkan begitu saja tanpa pernah dimiliki.
Mahesa memasukkan barang-barang terakhirnya ke koper. Hanya ada satu alasan kenapa dia masih ada di
4 Des 2009
Kebebasan Ensih
Beberapa saat yang lalu, sebuah tulisan seorang teman sungguh mengusik hati dan pikiran saya. Menyentak, menampar dan membangunkan saya dari tidur panjang dalam dunia nyaman saya selama ini. Tulisan itu berbicara mengenai sebentuk “kebebasan”. Kebebasan untuk berbicara, untuk berkarya, kebebasan untuk berperilaku, kebebasan yang ensih. Mutlak !
Hari ini pun, sebuah tulisan yang saya baca, lagi-lagi membuat saya merenung. Sebagian besar hal-hal yang menyangkut diri saya selalu saya kaitkan dengan orang lain. Pendapat orang lain..pemikiran orang lain..komentar orang lain. Tanpa sadar.. saya selalu mencari cap dari orang lain seolah-olah pendapat dari diri saya sendiri adalah nomor sekian. Ironis. Padahal sehari-hari saya selalu bergaul dengan saya.. saya menemani diri saya sendiri.. saya..tidak pernah terlepas dari saya… Arti kebebasan yang selama ini melekat erat di kepala S1 saya remuk redam. Saya terpenjara dalam “apa kata orang” terikat dalam “apa pandangan si A, si Badu, si Papi, si Bos, si Klien, si Pacar, dan lainnya.” Dan saya ditawan perasaan bersalah ketika si subyek sipir-sipir penjara itu berpendapat negatif tentang saya.. Sehingga apapun yg akan saya katakan, perbuat, tulis di komen, cerita di blog.. selalu bermuara pada pendapat para sipir tersebut. Saya tawanan mereka. Mutlak !
Saya bekerja di sebuah majalah yang cukup ternama dengan posisi yang tidak memalukan, gaji yang cukup buat shopping tiap bulannya, pekerjaan yang teramat mudah, waktu-waktu yang senggang.. –sering saya menyebutnya- jaga warnet. Hahahaha… XD
Tapi sesuatu mengusik saya.. sebuah sindiran halus yang membangunkan saya dari tidur nyenyak berkepanjangan plus mimpi indah di dunia penuh fantasi. Pekerjaan ini, zona ini.. terlalu nyaman buat saya. Saya tidak pernah bisa berkembang ! Saya.. well.. ini bukan posisi impian saya !! Ini bukan sebuah perjuangan mengembangkan kreatifitas yang saya butuhkan. Disini hanya Taman Kanak-Kanak, dengan saya yang sudah berumur 24 tahun. Saya mandek. Dan hampir mati. Impian saya menjauh dan terkubur perlahan. Kenyamanan ini.. kemudahan ini… waktu-waktu senggang ini… menggerogoti jiwa saya.
Saya mau bebas.20 Okt 2009
Kosong...
Sepi..
Tinggal sendiri…
Hanya aku dan waktu yang berjalan tertatih, terseok zaman.
Air mengalir terbelah, ...berdarah, ...mengaduh perlahan dalam senyap kegelapan.
Mencoba mengetuk berkali hingga letih dan terlelap ke alam merah jambu.
Lalu alam berubah menjadi surealis, langit hijau, dan rumput abu2.
Semua lebur jadi padu.
16 Okt 2009
Buat sahabat
Lekas beranjak dari kesedihanmu. Kita berbincang tanpa topik, bercakap tanpa tujuan. Hanya sebuah pembicaraan untuk mengusir gundahmu, barang sejenak.
Mari kuseka tangismu dan kuredam gejolak hati remukmu. Karena di depan ada persimpangan dan kita akan terserak. Di tengah belantara atau di tepian sahara.. entah kemana kita akan menuju. Yang penting kita bersama. Yang penting kita ada. Sekarang. Bukan menganggumi kemarin atau bertanya tentang esok.
Aku tidak akan pernah bertanya lagi mengapa harus bertemu jika nanti berpisah. Karena yang terpenting bukan kemana kita melangkah. Setiap langkah adalah tujuan kecil, dan aku mau bersama.
Kemari sebentar wai teman bermain jiwaku. Lihatlah matahari hampir tenggelam dan uzur nian usia kita nanti. Maka berdiamlah sejenak dan menikmati kini.
Demikianlah sesuatu yang agung terbentang antara kita. Mungkin tidak ada yang mengerti. Atau memang dia tidak untuk dimengerti, cukup dirasakan.