22 Jul 2009

Senja di Kantor Taman

Langit mulai senja saat dia beranjak keluar melewati pintu kaca. Sedikit tidak tergesa, perempuan di pertengahan usia 20-an tersebut melangkah. Angin musim hujan menyibak rambut panjangnya yang tergerai cantik di terusan merah menyala. Perempuan itu berhenti sejenak. Menyapu tatapannya ke sekeliling kawasan yang menaunginya selama beberapa bulan terakhir. Jalanan di depan kantornya masih sama seperti pertama kali dia keluar melewati pintu kaca yang itu. Tampak semrawut tidak sabar menunggu lampu menyala hijau, bunyi klakson mobil berlomba ingin didengar. Biasanya dia bergegas, menyeberang dengan cepat, ingin segera sampai di seberang jalan tempat dia menunggu mobil itu setiap sore tiba. Namun senja kali ini suasananya berbeda. Dia tak ingin bergegas, dia ingin menghentikan detak waktu sejenak, menikmati pemandangan macet menawan di mata… mungkin hanya hari ini saja. Lampu jalan mulai menyala pertanda bagi matahari untuk segera beranjak ke belahan bumi lainnya. Dia mulai menghirup nafas yang dalam. Nafas kebebasan sekaligus kerinduan yang menyesakkan. Berjalan menyeberang jalanan macet itu tampak melelahkan bagi jiwanya. Kakinya melangkah lesu di trotoar besar yang sedikit menggenang basah hujan tadi siang, namun tekadnya mantap dan tidak seorangpun dapat mengubahnya, kecuali Sang Takdir berkata lain. Matanya menatap nanar bangunan tua berdinding bata lima lantai yang sekarang berseberangan dengannya dan keputusannya. Lewat jendela besar di tengah bangunan tersebut, dia mengetahui lampu di dalamnya sudah tak menyala lagi. Dia mencoba mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Ke pohon-pohon palem tegar yang berdiri kokoh… ke sepanjang trotoar jalan yang bermotif wajik… ke tukang somay langganannya.. ke lampu-lampu gedung sebelah yang sebagian menyala pertanda masih berpenghuni… ke arah pejalan kaki yang berbondong-bondong tergesa… ke arah lampu-lampu mobil yang berpendar di korneanya. Tidak kuasa dia menahan aliran hangat di kedua pipinya, perempuan itu menunduk, seraya mengambil cardigan hitam untuk sedikit mengusir kegundahan hatinya di kala senja itu tiba. Mobil yang dia tunggu tampak datang dari kejauhan, kali ini dia bergegas. Pijakan kakinya mantap, keputusannya bulat. Mobil berwarna perak didepannya berhenti. Perempuan itu membuka pintunya dengan anggun, sebelum masuk ia memandang sekilas semuanya sekali lagi, dan rintik hujan menemani kepulanganku. Tebet, 23 Juli 2009

Tidak ada komentar: